"Walisongo"
berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan
Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada
saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan
erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana
Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim.
Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga
sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan
Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang.
Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan
Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik
Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka
tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad
16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa
Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat.
Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada
masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari
kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian,
kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren
Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di
masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur
Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun
juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus
adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang.
Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era
Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya
Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol
penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh
lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan
wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing
tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai
dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi
Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis
sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya
kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa
-yakni nuansa Hindu dan Budha.
1.Sunan Kalijaga(Raden Said)
Dialah
"wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir
sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban
-keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya
Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.Nama
kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama
panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden
Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga
yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon
dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa
mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di
sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu
berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai
"penghulu suci" kesultanan.
Masa hidup Sunan
Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan
Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang
lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan
Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung
Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang
merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan
Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang
sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham
keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik
(pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai
sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran
pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap:
mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam
sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka
ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia
menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai
sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg
maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode
dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk
Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran,
Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya).
Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
2.Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Agama
Islam menyebar di bumi nusantara dikabarkan dilakukan oleh para ulama
yang kemudian dianugrahi gelar Wali Songo. Dan Sunan Gresik atau Maulana
Malik Ibrahim adalah sosok ulama pertama yang diberi gelar sebagai Wali
Songo. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah
nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali
menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.
Tidak
terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana
Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang
Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya,
kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di
Afrika Utara.
Babad Tanah Jawi versi J.J.
Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang
mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia
memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia
Tengah, pada paruh awal abad 14.
Dalam
keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan
perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan
para penulis lokal, “Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal
dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen
(sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans lainnya
di Desa Leran di Jang’gala”.
Namun demikian,
kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P.
Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura
Wetan, Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu
tempat di Iran sekarang.
Terdapat
beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya
dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan
Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq,
Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir,
Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali
Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik
(Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin
Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.
Penyebaran Agama
Maulana
Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama
menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior
diantara para Walisongo lainnya.
Beberapa
versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang.
Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah
daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota
Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian
timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama
yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi
bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan
sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup
dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan
kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak
masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.
Sebagaimana
yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan
Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan
terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.
Perdagangan
membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja
dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan
tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.
Setelah
cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan
kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun
tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya
sebidang tanah di pinggiran kota
Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura.
Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran;
mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di
ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.
Demikianlah,
dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan
menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka
pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di
masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang
yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang
silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung
untuk berziarah.
Ritual ziarah tahunan atau
haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai tanggal wafat
pada prasasi makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman
Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan
makanan khas bubur harisah.
Legenda Rakyat
Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia.
Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak
dari Maulana Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq
disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari
Raden Paku atau Sunan Giri. Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya
bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh
Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa,
Vietnam Selatan; dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.
Maulana
Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut
sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia
menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau
Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup
menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan
meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti
jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Maulana
Malik Ibrahim dalam cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama
Kakek Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul
masyarakat bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati
masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan
perang saudara.
Selain itu, ia juga sering
mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan
bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari
Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Wafat
Setelah
selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran,
tahun 1419 Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa
Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur. Saat ini, jalan yang menuju ke makam
tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim.
3.Sunan Drajat(Raden Qasim)
Semasa
muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak
nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan
Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim,
Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh
Munat. Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng
Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah
Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng
Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting
Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang
mengungkapkan jejaknya.
Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya.
Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah
di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah
cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya,
dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya
terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah
barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu.
Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang
menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang
kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang
kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh,
persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana
beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan
menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim
mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji
ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma
dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar
yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun,
Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke
tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan.
Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden
Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih
menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan
lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk
membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan
belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.
Menurut
sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan
itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit.
Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah
pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun
permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas
petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi
perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai
Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat
tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan
ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan
menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di
tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang
peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah
menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini
dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Sunan
Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada
para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan
maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana catur mungkur,” demikian
petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang
menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan
memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara
bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima
cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar.
Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya,
memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.
Cara
keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah
lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga
menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang
tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat
pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan
wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang
kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada
orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada
yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.
Sunan
Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari
perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari
gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah
pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil
berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
”Berhentilah
bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu
menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan
tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat
terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah,
misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu
perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta
pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan,
ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening
–yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat
disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning,
ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar,
putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.
Peristiwa
itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri
pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati.
Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya
berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah
itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama
di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ‘’saling
memuridkan”. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi
Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan
sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas
padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap
dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan
Kesambi. Di sana
dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah
Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya
dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada
pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan
Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini
agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak
jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau
belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana
anglaksanani, mangkat sakulawarga….” Sewaktu diperintah Sunan Ampel,
Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana
keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.
Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.
4.Sunan Bonang
Ia
anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama
kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari
seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di
Tuban.
Sunan Bonang belajar agama dari
pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana
untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah
di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha.
Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota
Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus
pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal
pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat
menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah
menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat
sulit.
Ia acap berkunjung ke daerah-daerah
terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah,
pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah
barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean
dan Tuban.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas
dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya
tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin,
tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan
Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat
gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada
filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin
Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif
(makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran
tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang
disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan
murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang
banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah
satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq
karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan
tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga
digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.
Sunan
Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika
Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan
Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya
ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada
kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah
satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas
pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya.
Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas
Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai
peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).
5.Sunan Giri
Sunan
Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri
Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di
Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan,
yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin
dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Silsilah
Beberapa
babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri.
Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang
mubaligh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah
dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah
Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat
lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan
Rasulullah SAW; yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal
Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad
al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal,
Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad
Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah
(al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar
al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan
Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat
pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Saadah Ba Alawi
Hadramaut.
Kisah
Sunan
Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh
Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu
penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun
kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di
wilayah tersebut. Dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi Sekardadu
menghanyutkannya ke laut.
Kemudian, bayi
tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke
Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik
kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi
tersebut Joko Samudra.
Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya
untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah
mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid
kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya dan Makdhum Ibrahim
(Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima
oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah,
Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal
dan alasan mengapa dia dulu dibuang.
6.Sunan Ampel
Sunan
Ampel merupakan salah seorang anggota Walisanga yang sangat besar
jasanya dalam perkembangan Islam di Pulau Jawa. Sunan Ampel adalah bapak
para wali.Dari tangannya lahir para pendakwah Islam kelas satu di bumi
tanah jawa. Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat. Sedangkan sebutan
sunan merupakan gelar kewaliannya, dan nama Ampel atau Ampel Denta itu
dinisbatkan kepada tempat tinggalnya, sebuah tempat dekat Surabaya.
Ia
dilahirkan tahun 1401 Masehi di Champa.Para ahli kesulitan untuk
menentukan Champa disini, sebab belum ada pernyataan tertulis maupun
prasasti yang menunjukkan Champa di Malaka atau kerajaan Jawa. Saifuddin
Zuhri (1979) berkeyakinan bahwa Champa adalah sebutan lain dari Jeumpa
dalam bahasa Aceh, oleh karena itu Champa berada dalam wilayah kerejaan
Aceh. Hamka (1981) berpendapat sama, kalau benar bahwa Champa itu bukan
yang di Annam Indo Cina, sesuai Enscyclopaedia Van Nederlandsch Indie,
tetapi di Aceh.
Ayah Sunan Ampel atau Raden
Rahmat bernama Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi, yang
kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gresik. Ibunya bernama Dewi
Chandrawulan, saudara kandung Putri Dwarawati Murdiningrum, ibu Raden
Fatah, istri raja Majapahit Prabu Brawijaya V. Istri Sunan Ampel ada dua
yaitu: Dewi Karimah dan Dewi Chandrawati. Dengan istri pertamanya, Dewi
Karimah, dikaruniai dua orang anak yaitu: Dewi Murtasih yang menjadi
istri Raden Fatah (sultan pertama kerajaan Islam Demak Bintoro) dan Dewi
Murtasimah yang menjadi permaisuri Raden Paku atau Sunan Giri. Dengan
Istri keduanya, Dewi Chandrawati, Sunan Ampel memperoleh lima orang
anak, yaitu: Siti Syare’at, Siti Mutmainah, Siti Sofiah, Raden Maulana
Makdum, Ibrahim atau Sunan Bonang, serta Syarifuddin atau Raden Kosim
yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Drajat atau kadang-kadang
disebut Sunan Sedayu.
Sunan Ampel dikenal
sebagai orang yang berilmu tinggi dan alim, sangat terpelajar dan
mendapat pendidikan yang mendalam tentang agama Islam. Sunan Ampel juga
dikenal mempunyai akhlak yang mulia, suka menolong dan mempunyai
keprihatinan sosial yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial.
7.Sunan Muria(Raden Umar Said)
Raden Umar Said atau yang lebih dikenal dengan Sunan Muria
merupakan salah satu walisongo yang tinggal di daerah Gunung muria. Nama
Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria,
18 kilometer ke utara kota Kudus. Selain akhlak yang sholeh, beliau
terkenal memiliki kesaktian dalam pertarungan.
Silsilah / Asal-usul Sunan Muria
Satu versi menyebutkan, Sunan Muria adalah putra
Sunan Kalijaga.
Ahli sejarah A.M. Noertjahjo (1974) dan Solihin Salam (1964, 1974)
yakin dengan versi ini. Berdasarkan penelusuran mereka, pernikahan
Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Is-haq memperoleh tiga anak, yakni Sunan Muria, Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.
Versi lain memaparkan, Sunan Muria adalah putra Raden Usman Haji alias
Sunan Ngudung. Karya R. Darmowasito, Pustoko Darah Agung, yang berisi
sejarah dan silsilah wali dan raja-raja Jawa, menyebutkan Sunan Muria
sebagai putra Raden Usman Haji. Bahkan ada juga yang menyebutnya
keturunan Tionghoa.
Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya
Negara-negara Islam di Nusantara (1968), Prof. Dr. Slamet Muljana
menyebutkan ayah Sunan Muria,
Sunan Kalijaga,
tak lain seorang kapitan Tionghoa bernama Gan Sie Cang. Sunan Muria
disebut ''tak pandai berbahasa Tionghoa karena berbaur dengan suku
Jawa''.
Slamet mengacu pada naskah kuno yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong,
Semarang, pada 1928. Pemerintahan Orde Baru ketika itu khawatir penemuan
Slamet ini mengundang heboh. Akibatnya, karya Slamet itu masuk dalam
daftar buku yang dilarang Kejaksaan Agung pada 1971. Sayang sekali,
belum ada telaah mendalam mengenai berbagai versi itu.
Sejauh ini, karya Umar Hasyim, Sunan Muria: Antara Fakta dan Legenda
(1983), bolehlah digolongkan penelitian awal yang mencoba menelusuri
silsilah Sunan Muria secara lebih ilmiah. Ia berusaha membedakan cerita
rakyat dengan fakta. Misalnya tentang Sunan Muria sebagai keturunan
Tionghoa.
Umar mengumpulkan sejumlah pendapat ahli sejarah. Ternyata, keabsahan
naskah kuno tadi meragukan, karena telah bercampur dengan dongeng
rakyat. Walau begitu, Umar mengaku kadang-kadang terpaksa mengandalkan
penafsirannya dalam menelusuri jejak Sunan Muria. Hasilnya, Umar
cenderung pada versi Sunan Muria sebagai putra
Sunan Kalijaga.
Cara berdakwah
Dari berbagai versi itu, tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah. Gayanya ''moderat'', mengikuti
Sunan Kalijaga,
menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat
kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga,
seperti nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya.
Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan
sesaji diganti dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat
berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu
sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai
sekarang masih lestari.
Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran
Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat
jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan
tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana,
sampai pesisir utara.
Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan
yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan ''menghanyutkan diri''
dalam masyarakat. Sasaran dakwah dari Sunan Muria adalah para pedagang,
nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Ia adalah satu-atunya wali yang tetap
mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk
menyampaikan islam.
Keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya. Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah
dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal
sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun
rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh
semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu,
Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat
seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Tempat dakwahnya berada di sekitar gunung muria, kemudian dakwahnya
diperlua meliputi Tayu, Juwana, kudus, dan lereng gunung muria. Ia
dikenal dengan sebutan sunan muria karena tinggal di gunung Muria.
8.Sunan Kudus( Jaffar Shadiq)
Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Jaffar Shadiq. Beliau adalah putra
dari pasangan Raden Usman Hajji yang dikenal dengan sebutan Sunan
Ngudung,yang merupakan seorang panglima perang Kesultanan Demak Bintoro
dan Syarifah adik dari Sunan Bonang. Diceritakan bahwa Sunan Ngudung
adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di
Jawa. Ngudung adalah daerah Jipang Panolan atau sekitar utara kota Blora
sekarang
Sunan Kudus pernah menjabat sebagai panglima perang untuk Kesultanan
Demak,dan dalam masa pemerintahan Sunan Prawoto dia menjadi penasihat
bagi Arya Penangsang. Selain sebagai panglima perang untuk Kesultanan
Demak,Sunan Kudus juga menjabat sebagai hakim pengadilan bagi Kesultanan
Demak. Beliau lahir sekitar tahun 1500-an,meninggal tahun 1550 dan
dimakamkan di Kudus
Cara da’wah Sunan Kudus
Dalam beberapa riwayat diceritakan Sunan Kudus banyak berguru pada
Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa
Tengah bagian selatan seperti Sragen,Simo (boyolali) hingga Gunung
Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga:sangat
toleran pada budaya setempat. Namun versi cerita ini ada yang
membantah,karena Sunan Kalijaga merupakan sunan termuda dari 9 wali.
Sunan Kalijaga adalah murid Sunan Ampel. Sedangkan Sunan Kudus belum
pernah diberitakan mempunyai guru di tanah jawa,apalagi berguru kepada
Sunan Kalijaga.
Mengenai perjuangan Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam tidak
berbeda dengan para wali lainnya,yaitu senantiasa dipakai jalan
kebijaksanaan,dengan siasat dan taktik yang demikian itu,Masyarakat
sekitar dapat diajak memeluk Agama Islam. Cara Sunan Kudus mendekati
masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan
Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Menara Kudus. Bentuk
menara,gerbang dan pancuran / padasan wudhu yang melambangkan delapan
jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu,ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid
mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu,ia sengaja menambatkan sapinya yang
diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang
mengagungkan sapi,menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar
penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi
betina”. Untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu,Sunan Kudus
meminta kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan sapi dan mengganti
kurban sapi dengan memotong kurban kerbau,dalam perayaan Idul Adha.
Sampai saat ini masyarakat Kudus masih memegang amanat ini sehingga seni
kuliner di kota Kudus banyak menggunakan daging kerbau sebagai
pengganti daging sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut
disusunnya secara berseri,sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti
kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001
malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus
mengikat masyarakatnya. menurut riwayat beliau juga termasuk salah
seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita pendek yang
berisi filsafat serta berjiwa agama. diantara buah ciptaannya yang
terkenal,ialah Gending Maskumambang dan Mijil.
peninggalan beliau adalah Masjid Raya di kota Kudus,yaitu Masjid
Al-Aqsa Kudus atau yang dikenal dengan Masjid Menara Kudus,yang
menggabungkan arsitektur Islam dan Hindu. Masjid tersebut didirikan
tahun 1530 dan masih bertahan hingga saat ini. Mengenai asal usul nama
Kudus menurut legenda yang hidup dikalangan masyarakat setempat
ialah,dahulu kala Ja’far Shoddiq Muda (Sunan Kudus) melaksanakan ibadah
haji sambil menuntut ilmu di Tanah Arab dari Mekkah sampai Yerusalem /
Palestina,kemudian beliau pun sempat menetap pula di sana. Disebutkan
bahwa Sunan Kudus saat itu berjasa bagi kota Al Quds,Palestina karena
menyembuhkan wabah penyakit di daerah tersebut lalu atas jasanya
diberikan hadiah Ijazah /Prasasti yang tertulis pada batu yang ditulis
dengan huruf arab kuno,dan sekarang masih utuh terdapat di atas Mihrab
Masjid Menara Kudus. Kisah yang lain,bahwa setelah beliau selesai
melakukan pengembaraan ilmiah,beliau begitu terkesan dengan kota Al-Quds
itu,dan berniat untuk membuka kota di Jawa yang bernama Kudus juga
9.Sunan Gunung Jati
|
Add caption |
Syech Syarief Hidayatulloh dilahirkan Tahun 1448 Masehi. Ayahanda Syech
Syarief Hidayatulloh adalah Syarief Abdullah, seorang dari Mesir
keturunan ke 17 Rosulullah SAW, bergelar Sultan Maulana Muhamad, Ibunda
Syech Syarief Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang dan setelah masuk
Islam berganti nama menjadi Syarifah Muda’im adalah Putri Prabu
Siliwangi dari kerajaan Padjajaran. Syech Syarief Hidayatullah berkelana
untuk belajar Agama Islam dan sampai di Cirebon pada tahun 1470 Masehi.
Syech
Syarief Hidayatullah dengan didukung uwanya, Tumenggung Cerbon Sri
Manggana Cakrabuana alias Pangeran Walangsungsang dan didukung Kerajaan
Demak, dinobatkan menjadi Raja Cerbon dengan gelar Maulana Jati pada
tahun 1479.
Sejak itu pembangunan insfrastruktur Kerajaan Cirebon
kemudian dibangun dengan dibantu oleh Sunan Kalijaga, Arsitek Demak
Raden Sepat, yaitu Pembangunan Keraton Pakungwati, Masjid Agung Sang
Cipta Rasa, jalan pinggir laut antara Keraajaan Pakungwati dan Amparan
Jati serta Pelabuhan Muara Jati.
Syech Maulana Jati pada Tahun
1526 Masehi, menyebarkan Islam sampai Banten dan menjadikannya Daerah
Kerajaan Cirebon. Dan pada Tahun 1526 Masehi juga tentara Kerajaan
Cirebon dibantu oleh Kerajaan Demak dipimpin oleh Panglima Perang
bernama Fatahillah merebut Sunda
Pada tahun 1533 Masehi, Banten menjadi Kasultanan Banten dengan
Sultannya adalah Putra dari Syech Maulana Jati yaitu Sultan Hasanuddin.
Syech
Maulana Jati salah seorang Wali Sanga yang mempekenalkan visi baru bagi
masyarakat tentang apa arti menjadi Pemimpin, apa makna Masyarakatm,
apa Tujuan, Masyarakat, bagaimana seharusnya berkiprah di dalam dunia
ini lewat Proses Pemberdyaan.
Syech Maulan Jati melakukan tugas
dakwah menyebarkan Agama Islam ke berbagai lapisan Masyarakat dengan
dukungan personel dan dukungan aspek organisasi kelompok Forum
Walisanga, dimana forum Walisanga secara efektif dijadikan sebagai
organisasi dan alat kepentingan dakwah, merupakan siasat yang tepat
untuk mempercepat teresebarnya Agama Islam.
Syech Maulana Jati berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1568 Masehi.
Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka.
Meninggal
dalam usia 120 tahun, sehingga Putra dan Cucunya tidak sempat memimpin
Cirebon karena meninggal terlebih dahulu. Sehingga cicitnya yang
memimpin setelah Syech Maulana Jati.
Syech Syarief Hidayatullah kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati karena dimakamkan di Bukit Gunung Jati.